Posted by : Zilian Zahra Kamis, 02 Oktober 2014



Selepas audisi, aku masih termenung. Bertanya-tanya dan mengevaluasi diri “Mengapa kata itu tidak muncul di bibir ketika itu?” dalam benak kata itu hadir. Hingga aku menuliskan ini, aku masih bertanya, dengan pertanyaan yang sama. “Ini kehendak Tuhan, kamu harus menerimanya. Persis seperti apa yang pernah kamu tulis di twitter” jawaban yang selalu mengiringi setiap pertanyaan itu muncul.

Kepala terasa dipenuhi pertanyaan dan jawaban yang sama. Sesungguhnya aku menerima. Sungguh aku menerima. Tapi entah, kecewa masih saja muncul. Bagaimana tidak! Nilai minimal yang aku peroleh dari hasil penulisan esai membuat aku berusaha lebih keras, agar aku mampu mengejar ketertinggalan. Walhasil, aku tidak memunculkan kata yang setidaknya membuatku lega. Pertanyaan dari tim seleksi, Argh! Aku punya jawaban. Bukan hanya sekedar yang keluar dari bibir ketika itu. Tapi kenapa semua itu tertahan?

Entahlah, mungkin Tuhan menginginkanku belajar lebih keras. Kenapa tidak? Ya! Kecewa yang hadir bagiku sebuah proses menuju evaluasi yang panjang dan pembenahan diri. Sebelum semua ini terjadi, di benak tidak pernah terlintas mengikuti Pemilihan Duta Museum Jateng 2014. Tidak hanya duta museum, duta wisata atau duta apapun. Aku gendut, jauh dari cantik dan terbiasa dengan aktivitas di lapangan yang membuat aku menjadi seseorang yang jauh dari lembut, seperti Puteri pada umumnya. Sejak kecil, aku dituntut bisa melakukan aktivitas perempuan dan aktivitas laki-laki. Sehingga teman-teman banyak mengenalku sebagai perempuan tomboy, walau jilbab tetap membalut kepalaku.

Kondisi semakin berubah. Tepatnya dua tahun yang lalu, aku belajar untuk menjadi lembut. Aku berubah, karena nantinya aku tetap ditempatkan menjadi seorang Ibu. Perkenalanku dengan seorang desainer, isteri teman membuat banyak perubahan dalam penampilanku. Hingga sekarang, teman-teman banyak melihat perubahanku yang relatif cepat. Aku lebih lembut, bergaya layaknya perempuan anggun dengan rok panjang, tidak lagi selalu berbalut celana lebar dan kaos santai.

Tidak hanya penampilan, semakin usiaku bertambah, aku ingin menjadi diriku sendiri. Bukan menjadi sosok yang sesuai dengan kemauan orangtua, melakukan sesuatu yang tidak dicapai orangtua di masa muda.

Cukup terlambat karena sebagian teman sebayaku sudah sukses, aku masih saja belum mengerti siapa diriku. Terlebih seusiaku dianggap sebagai usia yang tidak produktif untuk berprestasi. Hal ini terbukti dari perusahaan dan instansi yang menerima karyawan dengan batasan usia yang relatif muda. Belum lagi fresh graduate. Oh tidak! Tahun 2010 aku telah menyelesaikan sarjanaku. Mewujudkan mimpi orangtua yang tidak tercapai.

Berpikir, berpikir dan terus berpikir. Dengan teman-teman dan anak-anak di Yayasan Pendidikan Islam aku belajar mengenali diriku. Semangat melanjutkan ke jenjang magister dengan jurusan yang aku suka masih tertunda. Namun membaca kisah orang sukses di luar negeri membuat aku merasa masih punya harapan hidup. 65 tahun baru jadi bidan di Amerika dan 90 tahun baru jadi pengusaha sukses di Jepang serta orang cacat yang mampu berjuang menjadi seperti orang pada umumnya menjadi motivasi untuk tetap belajar.

Banyak perjalanan yang sudah aku tempuh. Hingga aku menemukan berita Pemilihan Duta Museum Jawa Tengah 2014. Setelah kubaca syaratnya, aku yakin aku bisa. Walau di depan cermin, aku masih canggung dengan penampilanku. Tapi aku tidak peduli. Yang terpenting, aku mendukung museum dan sungguh sangat bangga apabila menjadi duta, memperkenalkan museum kepada masyarakat. Menjadikan museum tujuan utama untuk mengenal daerah. Walaupun untuk menjadi seperti itu, aku harus belajar keras mengenal museum dalam waktu yang relatif singkat. Ah, hanya soal waktu.

Semangat satu persatu muncul dari teman, bahkan yang bernada “ikuti saja, Nay. Pengalaman baru bagimu dan kamu harus totalitas”. Andrenalinku terpicu. Tiba saatnya audisi, inilah hasilnya. Mungkin Tuhan punya rencana lain. Aku yakin, aku akan bisa menerima. Walaupun waktu yang akan membimbingku.

Terimakasih Ibu dan Abah, yang mendukungku. Mbak Dini dan Dhimas yang aku repotkan untuk penampilanku, padahal masih banyak order. Mas Willy yang merelakan waktu memberikan saran dan mengajariku mocopatan. Pak Hakim, motivator dan sahabat setiaku. Mas Cipto, yang tak henti meluangkan waktu, menemani, membantu dan mendukungku sampai tertidur karena lelah. Pak Dirham, yang merelakan waktu menceritakan sejarah bangunan Museum Batik kepadaku. Ibu Tanti, Kepala Museum Batik Pekalongan yang membukakan pintu museum untuk belajar banyak tentang museum, Pak Asror di perpustakaan museum yang mau aku repotkan dan aku ganggu. Mbak Ika yang mendukungku, dan Mas Heri yang mau repot-repot nge-print jumlah kunjungan Museum Batik Pekalongan pertahunnya. Serta teman-teman yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu yang mendukung dan mendoakanku. Tanpa kalian semua, aku hanya mengenal museum sebagai tempat yang hanya menyimpan benda-benda bersejarah dan rekreasi. Ternyata, museum telah berkembang tidak hanya sebagai tempat penyimpanan, tapi sebagai tempat belajar, tempat penelitian, tempat kebudayaan masyarakat yang perlu dijaga bersama, juga sebagai tempat lahirnya inspirasi baru bagi bangsa.

Sampai audisi, bukan berarti aku berhenti. Mengenal teman baru dan pengalaman baru merupakan awal cakrawala kehidupanku semakin terbuka. Kata yang tak sempat terucap, hanya bagian dari (sekali lagi) rencana Tuhan. Aku berharap setelah menuliskan ini, rasa kecewaku lenyap dan hanya evaluasi serta aksi yang setia menemani hariku, untuk menjadi yang terbaik. (ZZ)

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -