Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
TRAGEDI DINI HARI
Apakah kau tahu bahwa aku menyesali jalan hidupku. Bagiku semua picik terhadap apa yang aku lakukan. Aku bukan boneka yang dapat kau permainkan sesuka hati. Aku bukan sahaya yang berharap belas kasih dari orang sepertimu. Bukan Kartini masa kini jika aku masih terpenjara di ketiakmu.
Adat Jawa membuatmu bangga menjadi lelaki. Kubilang itu kuno, bukan jamannya lagi wanita harus dibelakang. Untuk kau injak layaknya tak punya martabat. Kau bilang menjadi kuli itu berat, tiga puluh ribu rupiah sehari tak sebanding dengan tenaga yang kau gunakan. Apa kau pikir mudah dengan tiga puluh ribu itu untuk kita?. Lalu dengan apa kamu dan empat anakmu bisa makan enak dan sekolah tinggi? Kau tak pernah mau tempe, bukan?
Ketika Riak Menempa Bayang
Suara tangis terdengar dari kejauhan, semakin dekat bau kemenyan dan kembang-kembangpun menyelimuti. Orang lalu lalang menyampaikan belasungkawa pada keluargaku, bacaan ayat-ayat Alquran juga terdengar riuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tadi siang orang-orang membawa keranda kerumah. Untuk apa keranda itu? Kenapa dibawa kerumahku? Kudekati ibuku yang sedang menangis, kenapa ibu menangis ya? Padahal setiap aku menangis selalu dilarang oleh ibu, katanya seperti anak kecil. Aku dipeluk ibu erat, suara tangis ibu semakin keras terdengar di telingaku. Aku takut bertanya pada ibu, mungkin ibu merasa tidak enak badan, seperti aku jika merasa tidak enak badan pasti menangis.
“Bu, kok Bapak tidurnya diluar si? Bapak kenapa Bu?” aku mulai memberanikan diri bertanya.