Posted by : Zilian Zahra Selasa, 09 Desember 2025

Siang itu, matahari Surabaya menggantung rendah dengan cahaya yang hangat, bukan terik yang menyakitkan. Ketika bus memasuki gerbang pondok, dadaku tiba-tiba berdesir. Seolah ada sesuatu yang sudah lama menungguku di balik pagar besar itu.

Aku berdiri, merapikan jilbab, dan melangkah turun. Begitu kakiku menginjak tanah halaman pondok, pandanganku langsung tertarik pada masjid besar yang berdiri megah tak jauh dari tempat bus berhenti. Kubahnya berkilau, dindingnya kokoh, dan udara di sekitarnya terasa… berbeda. Ada aroma damai yang menyeruak bersama desir angin siang. 

Di sisi kiri masjid, tampak bangunan mini market pondok—kecil namun ramai. Sementara di sisi seberang halaman, gedung-gedung pondok menjulang tinggi, tersusun rapi dalam barisan yang menunjukkan betapa banyak santri tinggal, belajar, dan bermimpi di sini.

Halaman masjid luas, bukan jalan setapak kecil seperti pesantren di kampung-kampung. Asri–meski modern–dengan pohon-pohon besar yang masih berdiri teguh, memberi tempat berteduh bagi siapapun yang ingin sekadar melapangkan hati. Aku menarik napas panjang. Ada yang menyesak, tapi juga menghangat.

Aku berjalan perlahan melewati halaman masjid. Dari serambinya, suara para santri melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil yang jernih. Ada kelompok kecil—tujuh anak dengan satu guru—duduk melingkar, gamis putih mereka tampak bersih, wajah mereka bercahaya oleh hafalan yang mereka ulang-ulang.

Di sudut yang lain, beberapa santri memilih duduk di bawah pohon yang teduh, bersandar pada batang-batangnya. Ayat demi ayat melebur dengan suara angin, menghadirkan suasana yang sulit digambarkan dengan kata-kata—seolah tempat ini memang diciptakan untuk menyembuhkan sesuatu.

Aku memperlambat langkah ketika pandanganku terpaku pada satu anak di antara mereka.

Ia berdiri di bawah naungan pohon, mushaf kecil di tangannya, wajahnya tertunduk, bibirnya bergerak pelan. Matanya jernih, penuh kesungguhan. Cara ia melafalkan ayat—ritme, intonasi, ketenangannya—semua seperti pernah kukenal.

Mas Fadhil…

Nama itu bergetar sendiri dalam hatiku.
Bayangannya berkelebat begitu nyata, begitu dekat.

Langit siang seolah berubah warna.
Untuk sekejap, aku merasa waktu terlipat.

Tidak mungkin dia.
Anakku punya dunia sendiri. Teman-temannya. Gurunya.
Dan tentu saja… ia tidak mengenaliku.

Namun entah mengapa, tatapanku tak bisa lepas darinya. Seolah aku melihat beberapa tahun hidupku yang hilang, kembali berdiri menjadi manusia kecil di depan mataku.


Aku akhirnya memalingkan diri, takut hatiku menjadi lemah jika terus menatap bayangan itu. Di sisi kanan masjid, tempat wudu perempuan sepi. Airnya dingin ketika menyentuh kulitku—dingin yang menenangkan, merembes sampai tulang.

Setelah wudu, aku berjalan menuju makam yang terletak tak jauh dari masjid. Jalanannya luas, dipayungi beberapa pohon yang membuat langkahku terasa teduh. 

Makam itu ramai namun hening. Banyak manusia duduk bersimpuh, masing-masing dalam doa. Tidak ada pagar kecil; hanya ruang lapang di mana manusia datang membawa harapan, penyesalan, rasa syukur… atau rindu yang tidak pernah selesai. 

Aku memilih duduk di tempat kosong di antara mereka. Udara tiba-tiba terasa lebih lembut. Seperti ada tangan yang meredakan gelombang di dadaku.


Aku menatap nisan itu lama.
Membaca doa. 
Memohon ketenangan. 
Memohon kelapangan untuk sesuatu yang pernah patah 
namun tetap hidup di sudut hatiku.

Ketika aku menundukkan kepala, suara hafalan dari halaman masjid kembali melintas. Dan lagi—bayangan itu muncul. Anak tadi. Siluet mungil itu. Cara ia menunduk, cara ia menggenggam mushaf, bahkan cara ia mengusap ujung hidung ketika lelah—persis sekali dengan potongan kenangan yang pernah kutinggalkan bertahun-tahun lalu.

Dadaku tiba-tiba menghangat, tapi bersamaan dengan itu, ada bagian dalam diriku yang retak perlahan.

Seandainya ayahmu bersamaku dulu…
Seandainya hidup mengambil jalan yang berbeda…
Mungkin… kau akan mengenaliku hari ini.

Aku memejam.

Sebentar saja.
Agar suara hatiku tidak tumpah.

“Kau tak akan pernah ada… jika ayahmu bersamaku dulu.”

Itu kenyataan yang paling lembut sekaligus paling sakit.
Tapi justru karena itu, aku bisa merawat bayanganmu tanpa rasa bersalah lagi.

Mungkin Allah ingin memperlihatkan kepadaku kemungkinan yang tidak terjadi—bukan untuk menyakitiku, tapi untuk membuatku bisa memaafkan hidupku sendiri.




Ketika aku kembali berdiri, siang sudah condong ke sore. Angin menjadi lebih sejuk. Suara santri masih bergema, tapi kelompok-kelompok mereka mulai berkurang.

Aku menatap halaman luas pondok itu untuk terakhir kalinya hari itu.

Santri-santri berjalan rapi.
Guru-guru melintas.
Pohon-pohon melambai pelan.
Masjid berdiri kokoh seperti penjaga hati yang tak pernah letih.

Dan anak tadi—bayangan Fadhil—masih duduk di bawah pohon, menyelesaikan hafalannya.

Aku tidak mendekat.
Tidak memanggil.
Tidak mencoba memastikan apa pun.

Karena aku tahu:
Allah menghadirkannya untuk dilihat,
bukan untuk dimiliki.

Aku menarik napas pelan dan membatin,

“Assalamualaikum, Mas Fadhil…
Ibu tunggu di sini, ya?”

“Di tempat yang Allah pilihkan.
Mungkin bukan di dunia yang ini…
tapi dunia yang lebih damai.”

Lalu aku melangkah pergi—dengan hati yang tidak lagi penuh penyesalan,
tapi penuh syukur,
karena hari ini,
Allah mengizinkanku melihat bayangan yang pernah sangat ingin kupeluk.


di penghujung tahun

#05122025

Popular Post

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -