Posted by : Zilian Zahra Jumat, 30 Maret 2012

Suara tangis terdengar dari kejauhan, semakin dekat bau kemenyan dan kembang-kembangpun menyelimuti. Orang lalu lalang menyampaikan belasungkawa pada keluargaku, bacaan ayat-ayat Alquran juga terdengar riuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tadi siang orang-orang membawa keranda kerumah. Untuk apa keranda itu? Kenapa dibawa kerumahku? Kudekati ibuku yang sedang menangis, kenapa ibu menangis ya? Padahal setiap aku menangis selalu dilarang oleh ibu, katanya seperti anak kecil. Aku dipeluk ibu erat, suara tangis ibu semakin keras terdengar di telingaku. Aku takut bertanya pada ibu, mungkin ibu merasa tidak enak badan, seperti aku jika merasa tidak enak badan pasti menangis.
“Bu, kok Bapak tidurnya diluar si? Bapak kenapa Bu?” aku mulai memberanikan diri bertanya.



Ibuku mengelus rambutku sambil menangis.
“Ibu sakit ya?” aku kembali bertanya.
“Ibu sakit, Nak... sakiiit sekali” ibu berurai airmata.
Aku mulai faham, karena ibu sakit, jadi Bapak tidur diluar. Tapi kenapa Ibu juga ikut diluar?
“Ibu sakit apa? Mana yang sakit, Bu?” lagaknya seperti seorang dokter aku bertanya kepada Ibu.
“Bapakmu Nak, dia akan pergi untuk selamanya” tangis ibu belum mereda juga.
 “Bapak masih tidur kok pergi, Bu? Emang bapak akan pergi kemana Bu?” ah, ternyata aku masih bingung, ada apa sebenarnya ini?.
“Bapakmu telah meninggalkan kita, Nak.... Bapakmu mati!” Ibu menjerit lalu tiba-tiba jatuh dan diam. Orang-orang yang datang langsung membawa Ibu kekamar.
Para laki-laki menutup Bapak dengan keranda dan membawanya keluar. “Bapakku mau dibawa kemana? Jangan bawa Bapakku!!!” aku mengejar Bapakku. Aku pukuli orang yang membawa bapakku keras-keras, tapi aku kalah, aku dibawa orang besar, lebih besar dari bapakku menjauh dari bapakku. Aku memukul keras pundak orang yang menggotongku.
***
Kematian Bapakku adalah awal dari kisah yang aku alami, Ibu yang waktu ada bapak hanya menjual makanan di pagi hari, kini Ibu harus membuka warung hingga malam hanya untuk mempertahankan hidup kita, agar mendapatkan pendidikan yang layak. Kini waktukupun harus terbagi untuk membantu Ibu. Mengerjakan tugas sekolah, memasak makanan, mengantar makanan ke warung-warung dekat sekolah jika ada pesanan atau langganan yang membantu menjajakan masakan Ibu, serta membersihkan rumah. Sebenarnya tidak hanya aku yang harus membantu Ibu, tapi Kakakku juga. Di waktu ia harus belajar untuk mempersiapkan UNas, ia juga membagi waktunya untuk mencuci baju keluarga, membuka warung dan menemani ibu belanja di pasar.
Ketika Bapak hidup, kita hanya dituntut untuk membagi jadwal piket untuk membersihkan rumah dan membantu ibu sekedarnya serta berlomba mendapatkan ranking terbaik. Hal yang paling aku suka adalah ketika aku mendapat nilai raport lebih tinggi dari Kakak, walau sama-sama rangking pertama tapi yang terpenting nilai tertinggi. Bapakku mengajakku ke toko buku dan aku dipersilahkan memilih buku apapun yang aku suka. Saat itulah aku dapat memilih komik favorit yang aku impikan, Detective Conan yang aku incar akhirnya aku dapatkan pula. Kini koleksi komikku sudah menjadi sembilan namun aku tidak boleh terlena karena Kak Ida masih tetap menjadi sainganku. Aku masih ingat kata-kata dari Bapak “mempertahankan lebih sulit daripada meningkatkan prestasi”. Walaupun tidak selamanya aku selalu yang menang tapi aku senang diperlakukan adil dirumah. Sekarang, semua peran Bapak dimainkan oleh Ibu, tanpa Bapak, ibu tetap memberlakukan tugas itu, walaupun terkadang aku kasihan melihat pekerjaan ibu. Itulah yang membuat aku dan kakakku menambah tugas pribadi kita.
Bukan berarti kondisi kita selalu damai dirumah, terkadang aku dan kakakku bertengkar gara-gara masakan yang dibuat kakakku terlalu asin. Waktu itu aku nyeletuk “Mbak Ida sudah pengen nikah ya? Masakannya asin” awalnya aku hanya bercanda, ternyata kakakku menanggapinya dengan serius. Suasana meja makan sangat riuh, apalagi ditambah ibu yang tidak berhasil melerai kita berdua, aku yang tidak mau mengalah dan kakakkupun sama. Suasana menjeda karena tiba-tiba ibu sesak nafas, aku pikir ibu akan menangis tapi ternyata kata Kakak harus dibawa ke rumah sakit. Sampai rumah sakit, ibu di dalam ruangan sedang diperiksa, kita kembali adu mulut, saling menyalahkan siapa yang membuat ibu menjadi seperti itu. Ibu harus dirawat beberapa hari di rumah sakit, kakak yang mengurus rumah sakit dan mengurus rumah tapi kita masih saling diam. Kita pura-pura baik ketika didepan ibu, khawatir ibu kambuh lagi.
Empat hari rasanya satu bulan tanpa Ibu, lelah dan semua aku kerjakan tanpa harus komunikasi dengan kakak. Saat jadwal piketku, aku mengerjakannya dengan diam. Berat rasanya karena aku juga harus memasak untuk makan aku dan kakakku. Tapi aku tidak mau mencuci baju, semua bajuku aku selipkan di pakaian kotor kakakku. Itulah umpatanku saat dirumah, namun kakakku tidak pernah protes terhadap kelakuanku.
Aku memberanikan diri datang menemui ibu di rumah sakit, disana ada dua orang perempuan dan satu laki-laki seusia Om Rudi, tapi aku tidak mengenalnya. Niat untuk menanyakan sakit yang dirasa ibu lenyap karena keramahan laki-laki itu yang mengajak aku ngobrol banyak hal. Ibu hanya tersenyum melihat kita berdua. Sejak saat itu, aku sering menengok ibu di rumah sakit dengannya.  Aku merasa nyaman dengannya, seperti kutemukan sosok bapak baru dalam dirinya. Terkadang aku berpikir kalau ibu aku suruh menikah saja dengan Om itu yang akrab kusapa Om Budi. Tapi mana mungkin, dia lebih muda dari ibu. Ups, kenapa aku baru bertemu dengannya ya? Waktu silaturahim keluarga setahun sekali aku juga tidak menemui dia, baik dari keluarga ibu atau dari keluarga bapak. Siapa sebenarnya dia? Kenapa sudah akrab dengan ibu? Saudara atau bukan? Pertanyaan itu yang selalu muncul, antara hati yang merasa nyaman dan menemukan siapa sebenarnya orang itu. Argh... ternyata membuat aku lali akan tugas sekolahku. Sejenak aku lupakan dan kembali mengerjakan tugas sekolahku.
***
Genap sepuluh hari ibuku kembali kerumah, bahagia rasanya ibu telah bersama lagi dirumah begitu juga dengan kakakku. Malam ini kita tidur bertiga di kamar ibu, aku yang paling cerewet bertanya ini dan itu, gimana bu rasanya di rumah sakit, makanannya lain ya bu? Enak mana sama masakan Dewi?, Dokter yang itu cakep ya Bu? Dia udah punya anak belum bu?, dan serentetan pertanyaan dan akhirnya aku memberanikan diri menanyakan yang ini
“Bu, siapa Om Budi itu?” Pertanyaan terakhir nyaris membuat aku merasa dag dig dug, ibu diam agak lama dan Mbak Ida juga diam entah kalimat apa yang ia sembunyikan dari aku, mereka hanya berpandangan mata saja.
“maaf ya Bu?” aku manyun dan mengurungkan niatku untuk menanyakan itu kembali.
“Iya nih Dewi... dari tadi nerocos mulu, mbok ya biarkan Ibu istirahat dulu” Akhirnya kakakku buka mulut juga. Tapi lumayan plong karena kangenku sudah terobati, kangen suara cerewet Mbak Ida.
“Ssstt... sudah sudah, semua anak Ibu jadi semua dapat bagian bertanya” begitulah bahasa Ibu yang bisa membuat kita damai.
***
HAH!! Aku akan punya bapak tiri? Sama sekali tidak aku bayangkan, semua serba gelisah dan bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku enggak pengen punya bapak lagi! Aku enggak pengen punya bapak tiri! Ia memanfaatkan sakitnya ibu untuk mendekati aku! Aku gak rela!. Kegelisahanku ini membawaku hingga pulang dari sekolah.
“Dewi,  pulang-pulang kok manyun gitu sich?” aku tetep manyun aja dan langsung masuk kamar dan enggak peduli ibu ngomong apa. Aku kunci rapat-rapat pintu kamar dan aku diam. Rasanya capek banget hari ini, jadi kesel. Kenapa sich ibu harus cari gantinya bapak??? Huft... sambil merebah aku masih saja memikirkan hal itu.
Rumahku hari ini tampak ramai sanak saudara bertandang kerumah, kenapa mereka baru kerumah ya? Bukankah ibu sudah lama pulang dari rumah sakit? Wah oleh-olehnya banyak sekali, ni sembako bisa buat makan teman-teman nich.. besok libur jadi mereka bisa kesini dan aku ajak aja mereka masak bersama dirumah.
Aku lihat-lihat apa yang dibawa mereka, suara riuh terdengar dari depan rumah, aku mencoba kedepan rumah. tidak mau ketinggalan juga dengan keramaian itu. Mobil terbuka berhenti tepat di depan rumahku, aku mendekatinya dan aku lihat disana barang belanjaan ibu tetapi jumlahnya lebih banyak dari biasanya, tiga ekor kambing juga ada disitu. Dalam hatiku bertanya, buat apa ibu belanja sebanyak ini? Pake naik mobil juga... owh mungkin ibu ada pesanan dari orang. Aku pasti akan capek sekali bantu ibu, tapi aku tetap mau diam, aku tidak akan membantu ibu, biar ibu tau aku tidak setuju kalau ibu menikah lagi. Barang belanjaan dan tiga kambing itu dibawa masuk kerumah dan orang-orang tampak semakin ramai kerumahku. Semua yang dibawa sanak saudara dan belanjaan yang ada dimasak. Ada masak besar-besaran dirumahku, tapi yang masak bukan ibu, ada juru masak yang entah ibu sewa darimana dan beberapa sanak serta tetangga yang membantu. Mbak Ida tampak sibuk menata rumah, memang Mbak Ida jago menata rumah. tapi sepertinya mewah banget penataannya, kamar ibupun ditata indah sekali. Aku jadi semakin penasaran. Tiba-tiba aku digandeng Mbak Ida di suatu tempat. Pasta meriah sekali dan disana tampak duduk bersanding laki perempuan yang aku rasa itu adalah ibu dengan Om Budi. Aku ;ari mendekati kursi pelaminan ibu.
“Aku enggak rela Ibu menikah lagi! Aku enggak mau punya ayah tiri! Ibu jahat! Ibu udah enggak sayang lagi ma Dewi!” aku menangis sejadinya. Semua tamu undangan riuh mengelilingiku. Dari kerumunan itu, tampak dua orang lelaki tinggi besar datang dan langsung membawaku keluar, aku tidak bisa berkutik apa-apa dan “AAA.......!!!” aku berteriak keras karena aku dilempar ke danau. Nafasku yang ngos-ngosan kini menjadi susah nafas, tersengal seperti di dalam air. Nafasku semakin susah, kubuka mata yang dipenuhi air, hidungkupun sembab oleh air yang membuat aku tersengal. Huft.. ternyata aku masih berada dikamar, kuharap semua ini bukan kenyataan. Bergegas aku keluar kamar, lega rasanya kondisi rumah masih seperti biasa. Namun rasaku tetap bergemuruh dan was-was jika hal itu benar-benar terwujud.
***
“Tok-tok.. tok-tok..” suara ketukan pintu kamar yang tidak aku kenal siang ini membuat aku kaget. Siapa ya? Ah mungkin Mbak Ida yang ngajak bercanda. Ketukan pintu itu terulang lagi hingga jeda tiga kali, tanpa suara. Ketukan pintu itu mengusikku, rasanya aku ingin marah tapi aku tahan. Ketukan pintu itu terdengar lagi dan suaranya semakin keras. Aku merasa terusik, tanpa berpikir panjang aku membuka pintu dan... “Happy Birthday Dewi...” Ibu membawa kue berhias di depan pintu, Mbak Ida dan beberapa teman main juga ikut merayakan hari yang sempat aku lupakan ini. Sudah tiga hari aku tidak keluar kamar, aku keluar hanya untuk ke kamar kecil. Aku terharu melihat Ibu, tak kusangka Ibu begitu sayang padaku, ia selalu ingat ulang tahunku.
“Selamat ulang tahun, Dewiku manis” Kagumku terhadap Ibu terhenti ketika sosok Om Budi hadir, memang ia membawa kado besar, entah apa isinya. Walau di hati ingin tapi aku tidak mau menerimanya. Aku lari hendak masuk kamar, langkahku terseka Mbak Ida.
“Dewi, yang sopan ah dengan tamu” aku berusaha mengelak namun usahaku gagal.
“Dewi anakku manis, semoga kamu tambah dewasa ya?” Ibu mencium pipi kanan dan kiriku.
“Dewi tau siapa Om Budi? Dia yang membantu kita setelah kepergian bapak” Ibu agak berkunang.
“Lantas ibu memilih dia untuk menjadi bapak tiriku” suaraku meninggi.
“kamu tidak benar sayang, Om Budi tidak akan menikah dengan ibu” dengan suara lembut ibu masih terdengar penuh kesabaran.
“Om Budi akan menikah dengan Mbak Ida” sambil merangkul Mbak Ida Om Budi menjawab dengan senyum.
Aku memeluk Ibu, “Bu, Dewi minta maaf telah mensalah artikan kasih sayang Ibu” air mataku jatuh mengiringi riuh nyanyian ulang tahun dari teman-temanku.
Sekarang aku tahu dan bisa menerima Om Budi... Ups, Mas Budi sebagai calon suami Mbak Ida. Aku tidak ragu lagi untuk melakukan aktivitas ditemani Mas Budi. Rasa nyamanku dengan dia membuat aku semakin semangat menjalani hari-hari. Berbeda dengan yang dirasakan Mbak Ida, dia terlihat biasa dan sepertinya acuh dengan Mas Budi, entah apa yang dia rasakan.
“Mbak, ditunggu Mas Budi di depan” dari depan pintu kamar Mbak Ida terlihat sibuk membolak-balik kertas yang aku yakin itu adalah pelajaran untuk persiapan UNas.
“Mbak, temuilah” desakku karena Mbak Ida tidak mempedulikan omonganku. “KAMU TAHU KAN MBAK MAU UJIAN? BISA ENGGAK SIH TIDAK MENGGANGGU MBAK TERUS?” muka Mbak Ida memerah.
“Tapi didepan ada Mas Budi Mbak, kata Ibu Mbak kudu nemuin.
“Enggak bisa! Mbak mau belajar. BRAKKK!” pintu kamar ditutup keras-keras.
“Mbak Ida masih belajar untuk ujian, maaf ya Mas.” Tanpa pamit Mas Budi langsung mengambil tas dan keluar dengan muka geram. Ia membanting setir pula dengan sangat keras. Tak biasanya Mas Budi berlaku seperti itu, entah setan mana yang merasuki Mas Budi hari ini.
***
Sudah sebulan aku tidak mendengar kabar Mas Budi lagi, kerumahpun sudah tidak pernah. Dia hilang tanpa kabar dan berita, Mbak Ida juga tampak seperti biasa, tidak ada kejanggalan ataupun kesedihan tanpa Mas Budi. Ibu melakukan aktivitas seperti biasa pula.
“Bu, kok Mas Budi tidak pernah kesini lagi si?” tanyaku ketika Ibu sedang meramu bumbu. Ibu hanya tersenyum memandangiku sebentar kemudian kembali melakukan pekerjaannya lagi. Aku menguntit Mbak Ida yang lagi menghias kalengnya dengan flanel, kulontarkan pertanyaan yang sama pula kepada Mbak Ida
“Mbak, kok Mas Budi tidak pernah kesini lagi si?” kali ini aku nekat mengganggu konsentrasi Mbak Ida di kamar.
“kamu kangen ya ma dia, sono ke kuburan” sambil nyengir itulah jawaban Mbak Ida padaku tanpa menghentikan aktivitasnya.

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -