Posted by : Zilian Zahra Kamis, 26 Desember 2013

"Kesetiaan itu sejengkal kesakitan yang menjamur, pengharapan tanpa ujung takdir. Ia tak terbatas waktu dan kepedihan masa. Namun hati tetap hati, perasaan tetap perasaan. Terkalahkan oleh lisan tak bertulang."
Ketika film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diputarkan, ada kesan indah yang menusuk rasaku. Mata memandang lekat, dan rasaku berbicara. Bukan hanya sekedar tontonan kisah cinta dalam hidup, namun balutan realita kehidupan dikemas rapi.

Mata menari-nari menatap keindahan alam yang disuguhkan, sebelahku berbisik "bikin rindu ke alam bebas". Ku jawab dengan senyuman. Sisi kedaerahan minang yang muncul sangat lekat. Seolah menjadi turis di nusantara sendiri. Aku terus menikmati di setiap lekuknya. Tokoh utama si "Zainuddin" yang kehilangan orangtuanya di usia belia membuat dirinya ketika beranjak dewasa ingin mencari keluarga ayahnya di Padang. Dengan alasan ingin mengenal tanah kelalhiran ayahnya dan ingin belajar agama, dia diijinkan tinggal di Desa Batipuh di Padang.



Di desa tersebut Zainuddin terpesona dengan bunga desa yang bernama "Hayati". Cinta mereka terhalang adat dan derajat, yang membuat dia terusir dari Batipuh. Sebelum pergi, Zainuddin sempat bertemu dengan Hayati. Dalam pertemuan itu, terlahir sebuah janji mati yang Hayati ucapkan pada Zainuddin sebelum pergi ke Padang Panjang. Hal tersebut membuat Zainuddin yakin bahwa jarak bukan pemisah antara keduanya, dengan surat mereka berdua bebas berucap.

Pada kesempatan festival pacuan kuda di Padang Panjang, Hayati diijinkan untuk menginap di rumah sahabatnya di Padang Panjang. Hayati berharap agar dia bisa bertemu dengan Zainuddin. Ternyata Sahabatnya ingin menjodohkan Hayati dengan Kakaknya yang bernama "Azis" yang terpesona dengan kecantikan hayati. Hal tersebut berujung lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati dan lamaran Azis diterima. Azis yang bekerja pada Belanda di Padang gemar mabuk dan judi serta bermain wanita tak diperhitungkan keluarganya. Harta dan kekayaan adalah segalanya, dan kecantikan menjadi nafsu untuk memilikinya.

Seorang lelaki yang bijaksana meminta penjelasan kepada perempuannya perihal tidak diterimanya lamaran darinya. Jawaban sang perempuan membuat hati Zainuddin pilu, hingga jatuh sakit. Obat apapun tak mampu mengobatinya. Kedatangan Hayati pun tidak mampu mengobatinya.

Zainuddin bangkit karena semangat dari Muluk, mereka berdua pergi ke Batavia. Keahlian Zainuddin dalam menulis membuatnya jaya. Lalu Zainuddin dipindahkan ke Surabaya untuk menangani produksi koran disana.

Karena pekerjaan, Azis juga dipindahkan ke Surabaya, Hayati pun turut jua. Seiring berjalannya waktu, hubungan Azis dengan Hayati tidak baik lagi, setelah Azis dipecat dan barang-barangnya di sita, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin.

Setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberi tahu pada Hajati bahwa Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar Hayati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya.

Beberapa hari kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hajati. Aziz meminta supaya Hayati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di Banyuwangi.

Hayati meminta kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat bersama-sama serumah dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima baik oleh Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah ditolak Hayati, dan sekarang Hayati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat menerima periakuan Hayati.

Dengan kapal Van Der Wijck, Hayati pulang atas biaya Zainuddin. Namun Zainuddin kemudian berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia tanpa Hayati. Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hayati ia berniat menyusul Hayati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta.

Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hayati tak dapat diselamatkan. Karena luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia
meninggal dunia di rumah sakit. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya, depan rumah Zainuddin.


Pemimpin memang adakalanya harus tegas, namun jika masih berbalut luka, kebijaksanaan kadang terkalahkan. Disitulah letak sesal di depan. Maka itu, sadarlah.. ubah haluan hidup. Kenali diri, nafsu harus terkendali.

Ini cerita bukan sekedar cerita, irama hidup terkadang berbicara sedemikian rupa. Mata rasaku berbicara, setiap penonton dibuat haru hingga meneteskan airmata, namun aku... tetesan itu menyesak penuh dalam dada. Seolah ia menjerit dalam pilu yang terkubur.

-zz

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -