- Back to Home »
- Kampus Fiksi , kesan , Tulisanku , Zilian Zahra »
- KELUARGA BARU, SEMANGAT BARU DI #KAMPUSFIKSI 11
Posted by : Zilian Zahra
Kamis, 05 Februari 2015
Pernahkah kamu merasakan tidak bergairah lagi? Dalam suatu
hal atau beberapa hal. Ya! Begitulah perasaanku ketika harus antri mengikuti
#KampusFiksi. Dari November 2013 aku baru dapat giliran tahun 2015. Alamak lamanya.
Sepanjang waktu mengantri, aku dihadapkan dengan berbagai
ujian hidup. Sampai pada kehilangan gairah menulis. Bagaimana tidak, semakin
berusia haruslah semakin dewasa. Tuntutan pekerjaan dan kehidupan nyata yang
melelahkan membuat sepanjang 2014 menjadi penulis tidak produktif.Puisi,
menulis puisi yang biasa dilakukan setiap saat setiap waktu, pun ikut tergerus.
Walaupun sesekali menulis puisi masih
saya lakukan.
Banyak hal yang mungkin (bagi kamu) tidak masuk akal. Percaya
enggak percaya, keluarga dari Embah, Abah,
Ibu, Bude, Bulik, Om, Pakde yang hidup bersama (ceritanya keluarga besar) tidak
ada yang senang menulis, minimal membaca. Ada sih, membaca Alquran. Rutinitas setiap
usai salat Maghrib dan salat Subuh. Selebihnya bagi mereka (kecuali ibu)
menganggap bahwa membaca buku selain Alquran itu tidak penting. (masih menurut
mereka) membaca itu hanya dilakukan anak sekolah dan anak kuliahan saja.
Berhubung saya sudah enggak kuliah, seringkali ketika
membaca di tanya “kamu kan sudah ndak
sekolah, kenapa masih membaca?”
Aduhai aku seperti di tusuk cepat. Mak jleb. Serba salah nanti kalau dijawab. Hanya bisa nyengir “hla asik kok maos buku sing sanes pelajaran (baca
buku yang bukan pelajaran itu lebih asik)”
Ternyata pernyataanku agaknya tidak diterima. Pernah suatu
hari, sepulang kerja aku kehilangan buku yang ku simpan di bawah bantal. Ohya,
aku tidur menemani bude yang mengasuhku sejak kecil. Aku tidak punya kamar
pribadi dan tidak punya ruang pribadi. Semua yang aku simpan selalu di periksa
oleh kakak Bude. Padahal kamarnya bude, tapi ya begitulah kebiasaannya.
Ketika bude pulang kerja, langsung kutanya “Bude semerep buku ten ngandap bantalku? (Apakah
bude melihat buku di bawah bantalku?)”.
“Tak zrogke kerdus, hla
kasur nggo turu kok bukune di gletakke tok. (saya letakkan di kardus, kasur
untuk tidur kok bukunya di taruh disitu).
Oh my God! help me
please. Ini bukan kali pertama buku di gusur dari kasur. Sudah berkali-kali,
padahal bukunya belum selelsai dibaca. Di mata, begitu sakralnya tempat tidur
hanya untuk tidur saja.
Andai aku punya ruang
nyaman lain selain kasur, aku mungkin akan baca di tempat itu. Tapi tidak,
aku selalu berusaha mencuri waktu saat mereka terlelap atau masih kerja. Hal tersebut
tidak bertahan lama, aku harus membimbing anak-anak mengikuti kegiatan prestasi
tingkat Jawa Tengah. Waktuku semakin berkurang, aku tetap menulis, tapi
memenuhi syarat mengikuti lomba, yakni membuat presentasi tentang lingkungan
sekolah dan aktivitas setiap minggu. Sedangkan di rumah selalu tidak
mengijinkan tidur lebih larut dari bude tidur.
Aku malas banyak aturan yang membuatku tidak berkembang, aku
benci itu! Setelah berpikir lebih, aku memutuskan untuk menyelesaikan semua
tugas dan keinginanku di tempat kerja. Sampai rumah, aku tidur. Membantu rumah,
terkadang males. Lelah dan tidur seperti yang mereka inginkan.
Beberapa penawaran pindah kelas angkatan melayang di
e-mailku. Dari mbak Ve, dia paling rajin mengirim email ke aku. Padahal aku dan
mbak Ve belum kenal, kan? Tapi ini informasi. Sampai masuk prestasi lima besar,
aku resign dari sekolah tersebut. Aku
stres. Setelah resign aku hanya pergi
kerumah teman, jalan-jalan, nulis buku harian, nulis puisi, nulis cerpen tapi
enggak jadi-jadi dan melakukan aktivitas yang orang rumah senangi.
Enam bulan jadi pengangguran, aku diterima di salah satu
instansi yang tugasnya lebih padat dari sekolah. Lebih sedikit teman kantor dan
lebih sedikit perhatian. Tapi bisa online
tiap hari dengan gratis (hehe) menggunakan fasilitas kantor sembari membuka
email dan blog kantor.
Dari itulah, Mbak Ve akhir bulan Oktober kembali mengirim surat,
bukan surat cinta tapi pemberitahuan pindah kelas #KampusFiksi. Oh tidak, aku
belum bisa ikut, aku tidak siap, aku sudah tidak banyak menulis lagi. Banyak rasa
yang perang di dalam otak dan hatiku. Padahal aku ingin pindah kelas. Sabar, Nel. Sabaaarrr.
Dalam menanti #KampusFiksi 13 yang begitu lamanya, semangat
menulis yang sudah luntur enggak karuan. 12 Januari 2015 mbak Ve masih setia
mengirim email ke saya. Setelah meminta ijin sana-sini dan mempertimbangkan
kondisi diri, bude juga ternyata berangkat umroh tanggal 29, enggak jadi
tanggal 30, aku nekat daftar pindah kelas #KampusFiksi 11. Melengkapi persyaratan
tapi jaringan internet menggodaku. Gagal kirim! Ampun deh, tanggal 14 tempo
waktu pengumpulan berkas. Esok harinya aku ditelpon, jadilah aku curhat dan
dengan kecanggihan hape jelekku, aku pindah file dan ‘enter’ terkirimlah sampai
ke Yogyakarta.
***
30 Januari 2015
Ada kisah menggelikan dan tidak terlupakan. Hari Kamis, aku
pesan tiket naik travel ke Yogyakarta. Ternyata tidak ada travel jam 14.00
padahal hari Jumat aku tidak bisa ijin kantor karena ada rapat. Saking pengennya
berangkat lebih awal, jam 13.04 ada sms aku
pikir dari sopir travel. Blas enggak ngeh penjemputan #KampusFiksi
“Mbak nanti saya yg jemput, sms ini ya.”
Aku balas selesai rapat “Iya Pak, nanti mau jemput
jamberapa, Pak?”
Dijawab “Skrg dmn? Mau skrg bs”
“skrg blm plg, Pak. Wah cuma ngantar saya ya Pak? Jam 2 gmn
Pak?”
“Oke. Aku masi mas2. Haha”
Deg! sms terakhir membuatku
berpikir yang enggak-enggak. Cewek dianter
ke Jogja sendiri, sama mas2. Aduh, semoga enggak ada apa-apa. Tapi kok
mau-maunya travel dari Pekalongan hanya mau ngantar aku, apa enggak rugi yah?. Bener-bener
deh, aku yang belum packing jadi
melakukan semuanya dengan kilat. Walhasil baru selesai jam 14.30. “Aku sudah
siap, Mas.”
“Oke. Tnggu dpn toko ban ya.”
Toko ban? Aku kan
minta jemput dirumah. “Toko ban sblh mn ya?”
Kemudian aku ditelepon. Nah! Ketahuan, ini penjemputan dari
perempatan Jl. Wonosari ke #KampusFiksi. Alamak, udah buru-buru packing ternyata? Ah, tapi tak apa. Aku bisa
istirahat dan santai sampai travel datang. Resikonya, aku sampai Jogja sudah
larut. Kenyataan, travel baru jemput pukul 17.30. sampai Jogja sekaligus
mengantar penumpang lain sana-sini, 22.42. aku diantar paling terakhir. Setelah
kembali komunikasi dengan mas2 yang jemput sampai #KampusFiksi, aku masih
sempat menanyakan. Dengan siapa aku dijemput dan apakah ada peserta lain yang
dijemput bersamaan dengan aku, ternyata tidak. Agak tidak percaya dan takut,
aku mendapati sms lagi “Haha tenang kmi org terpercaya se akhirat.” Idih hebat
banget ya?
Mas2 Imam dan Mas Kiki, berdua menjemputku di depan tiket. Sambutannya
ramah dan bersahabat. Tidak hanya mereka berdua, di dalam semua menyambut
dengan bersahabat. Anggi, peserta yang awalnya sempat ragu. Benar peserta atau
panitia. Selama disana aku tidur sebelahan dengannya. Masuk kamar, ada Deasy
yang sudah tidur dan terganggu karena deritan pintu dan obrolanku dengan Danik.
Suci dan Pipit yang katanya sedang mandi, mega dan aku jadi sekamar. Sudah lama
rasanya ikut pelatihan tanpa berdesak-desakan seperti ini. Tapi ini hebat! Akrab
dan bersahabat.
Esoknya, dengan akrab mbak Ve memperkenalkan diri dengan para
peserta. Giliran berpapasan denganku, mbak Ve memperkenalkan diri dengan heboh
dan aku, biasa saja. Njenggleng.
Bingung, sejak kali pertama datang. Ya, aku memang bingung. Lama
sekali rasanya ingin berada seperti ini. Yang pasti aku merasa seperi manusia
paling bodoh dan paling tidak produktif se #KampusFiksi.
Ketemu Pak Edi Akhiles pada materinya. Aku lemes. Aku pernah
melihatnya di masa lalu, tapi bukan beliau. Hatiku serasa rontok kembali
mengingatnya. Ah sudah! Lupakan. Pak Edi tidak seperti dalam bayangan. Aku membayangkan,
beliau berkumis dan ‘tua’. Aku salut atas kegigihannya sampai dapat
menyelenggarakan #KampusFiksi 11 ini.
Sepanjang #KampusFiksi aku mengenal peserta. Juga alumni
yang mau menyempatkan diri hadir disana. Salah satunya mbak Elisa, pernah
sekali bertemu di FLP Pekalongan. Sungguh suasana keluarga, walaupun ku dapati
mbak Rina yang dengan gaya editornya terkesan ‘sadis’ tapi lama-lama jadi
mengerti bahwa sebenarnya dia baik. Refa dan Ocha, peserta dari Pemalang. Ternyata
Refa sekolah di SMA N 1 Pekalongan. Kebetulan kita duduk bersebelahan.
Seperti orang penting, meja peserta masing-masing ada
namanya. Keakraban muncul tiap kamar, tapi berbaur ketika di luar kamar. Seolah
pernah bertemu walau di dunia maya. Tapi tidak dengan aku. Aku tetap merasa
asing dan tidak pede. Berlatih menulis
cerpen 3 jam saja, aku selesai paling akhir.
Malam-malam selesai sesi menjawab perasaanku. Semua akrab,
berselfie bersama dan bermain
bersama. Namun aku gelisah, memikirkan tugas kantor yang dibebankan padaku
untuk selesai hari Sabtu. Puaslah pekerjaan tidak ku selesaikan hari Sabtu,
malamnya aku langsung tidur, tidak peduli satu kamar bercanda dan berisik. Apalagi
Danik, guru PAUD yang pandai mendongeng.
Malam terakhir, teman-teman sekamar meminta untuk selfie bersama. Walaupun Mega dan Suci
pamit pulang mengejar jadwal kereta api, sisa sekamar tidak surut untuk
berbahagia. Kami tersambung di grup
whatsapp.
Satu sesi yang paling aku suka. Ketika Pak Arief memberikan
sesi dengan cerita pengalaman muda beliau hingga akhirnya menjadi redaktur
sastra di Jawa Pos. Semangat menulis kembali hadir. Aku pun salut dengan
marketing satu itu, mas Achonk. Marketing tapi intelektualnya tinggi. Bukan berarti
Pak Edi atau pemberi sesi yang lain tidak ku suka, semua berpengalaman, hebat
dan pasti keren. Jadi aku pun ketularan pengalaman dan sebentar lagi menjadi
keren.
Aku ingat jleb-nya
Pak Edi menyampaikan pesan di penutupan. Selalu tersampaikan 90% kerja keras 5%
kerja keras dan 5% nya lagi kerja keras.
Sepulangnya #KampusFiksi di beri oleh-oleh Pak Edi, selain
ilmu juga buku yang sekardus aja dibawa berat. Tapi aku suka semuanya.
Terimakasih #KampusFiksi, terimakasih Pak Edi, terimakasih semuanya. Kini aku
punya keluarga baru dan semangat baru.
Dilingkupi penulis dan hidup bersama penulis
merupakan anugerah Tuhan terindah
karena hanya dengan menulis
Kita menjadi abadi
Posting Komentar