Posted by : Zilian Zahra Rabu, 01 Oktober 2014



Tahun 2012 lalu diajak wisata bersama Fans Radio Roshinta Tegal. Salah satu tujuannya adalah ke Malioboro. Berbeda dengan mereka yang langsung seneng mau blanja-blanji, tapi aku memilih menghubungi temanku yang di Yogyakarta untuk temu kangen. Sembari menunggu teman, saya duduk di tepi parkiran kendaraan wisata. Tepatnya di seberang Taman Pintar.

Sore itu, tiba-tiba ada seorang pria berkumis dengan menggendong tas punggung mendekatiku. Dia memperkenalkan diri dan mengaku sebagai wartawan KR (Kedaulatan Rakyat). Untuk keperluan korannya, aku sedikit di wawancarai perihal tempat wisata yang paling suka aku kunjungi. Spontan aku jawab ke museum karna di museum aku mendapat pelajaran dan hal baru.


Akhir Agustus 2014 lalu, aku melihat ada pengumuman Pemilihan Duta Museum Jawa Tengah 2014. Setelah membaca persyaratan, aku tertarik untuk mengikutinya. Walau informasi itu aku dapat dengan waktu yang relatif mendekati dateline. Berhubung di Kota Pekalongan terdapat sebuah museum, sebelum mengikutinya, saya mengunjungi Museum Batik Pekalongan dan meminta ijin kepada Ibu Tanti Lusiani, Kepala Museum Batik Pekalongan. Beliau memberi semangat dan berpesan agar jangan takut gagal. Apabila kesempatan ini belum berhasil, jadikan pengalaman untuk tahun selanjutnya.

Kata-kata tersebut menjadi semangat untuk mendaftarkan diri mengikuti Pemilihan Duta Museum Jawa Tengah 2014. Salah satu syarat pendaftaran yakni membuat esai gagasan promosi museum di Jawa Tengah. Karenanya, aku menemui Pak Dirham, Duta Herritage Kota Pekalongan dan aktif di kegiatan Kota Pekalongan untuk meminta informasi tentang museum. Selain itu, aku mengunjungi Perpustakaan Museum Batik Pekalongan untuk menggali informasi lebih tentang museum. Disana aku dibantu Pak Asror, Magister Permuseuman UI.

BINGUNG MENENTUKAN BAKAT
Ada kejanggalan dalam pembuatan CV. Sampai saat ini aku tidak tahu sebenarnya aku condong di bakat yang mana karena selama ini aku merasa tidak punya bakat apa-apa. Ibu dan teman-teman dekat (Pak Toni, Mas Willy, Pak Hakim, Mbak Naily, Arum) aku minta memberi saran untuk penulisan bakatku. Mereka rata-rata mengatakan bahwa aku multi-talent. Masih tidak percaya karena aku merasa belum mampu apa-apa. Mikir Keras menentukan bakat/keterampilan apa yang akan kutulis. Akhirnya kuputuskan untuk menulis 3 keterampilan yang aku bisa, yakni: Membatik, Menulis dan menggambar kaligrafi.

4 September batas akhir pendaftaran dan pengumpulan berkas ternyata di perpanjang. Kusempatkan waktu untuk melihat kembali esai yang aku buat. Dibantu koreksi oleh Pak Toni Eko Prasetyo, teman Relawan di PMI, aku merevisi esaiku. Beliau juga berpesan, kalau mau terjun harus totalitas walau dari nol.

Diantar Mas Cipto, aku mengumpulkan syarat ke Museum Ronggowarsito Semarang. Berkasku diterima Ibu Atika. Dalam benak dan hati merasa bahagia karena bisa menginjakkan kaki di Museum Ronggowarsito. Keinginanku sejak lama.

22 Oktober 2014 tiba waktunya diumumkan seleksi administrasi dan berkas. Perasaan campur aduk jadi satu. Meneliti satu persatu nama yang tertera. Dua baris sebelum terakhir, namaku tercantum. Shoc dibuatnya karena aku tidak yakin bisa masuk audisi. Melihat nilai esai, aku pesmis karena termasuk angka terendah yang lolos. Putar otak, bagaimana agar bisa mengejar angka. Tetap belajar dan berdasar informasi audisi yang diijinkan membawa suporter, sempat berpikir akan tampil dan di tonton banyak orang. Sehingga aku harus mempersiapkan diri menampilkan bakat sebagai konsekwensi menambah nilai.

Mas Willy, seniman multi-talent yang kumintai bantuan dan saran dalam pengemasan penampilan bakatku. Dia memberi saran untuk membatik dan menyanyi mocopatan. Dua malam dia sempatkan untuk mengajariku nembang.

Iil, adikku yang ikut suaminya juga ibu mertuanya dan membuka usaha batik tulis juga ikut aku repotkan. Bersama pembatik disana, aku membatik. Sempat pekerja batik disitu mencibir. Mereka mengira aku yang sudah sekolah tinggi tidak mengenal apa itu batik dan tidak bisa membatik. Setelah mereka melihat, lantas mereka memuji. Namun memang rasanya berbeda antara membatik biasa dengan membatik khusus untuk didemokan di audisi kedepan.

AUDISI
Berangkat dari rumah membawa perlengkapan untuk membatik (kain, kompor, malam/lilin, wangkring) juga baju yang akan aku pakai saat audisi. Rencana hadir pukul 07.30 wib gagal total karena banyak jalan yang sedang diperbaiki, sehingga macet. Sampailah di Museum Ronggowarsito pukul 08.50 wib tanggal 30 September 2014.

Dengan menggendong tas ransel lumayan besar dan baju yang kusut karena di jalan, suporter yang aku kira peserta menunjukkan bahwa peserta sudah masuk sejak tadi. Aku nekat saja masuk menuju tempat daftar ulang. Setelah selesai daftar ulang, peserta yang selesai jalan-jalan sudah duduk untuk memulai upacara pembukaan. Sebentar ikut duduk dan sempat berkenalan dengan peserta yang bernama Sofi dari Pati. Merasa tidak rapi dan tidak cantik sendiri, aku pergi ke toilet untuk ganti baju.

Di toilet bertemu dengan peserta dari Pekalongan, dia masih sekolah di SMK Syafi’i Akrom Pekalongan. Namanya Putri. Dia diantar satu orang temannya dan satu orang guru. Sempat terbesit rasa, senang ya ada yang mengantar dan menemani. Karena saya sendiri, saya bergabung dengan dia. Hingga pembagian kelompok audisi diumumkan, aku dan Putri berbeda kelompok. Tempat audisinya juga berbeda, sehingga kami berpisah.

Di ruang tunggu audisi, aku bertemu dan berkenalan dengan Maria, gadis cantik berusia 23 tahun yang (bagiku) sudah sukses karena disamping dia menjadi asisten dosen, dia juga sedang menempuh S2 Manajemen di Unika Soegijapranata. Dia sekarang tinggal di Banyumanik. Rasa itu kembali terbesit, karena Maria berangkat diantar oleh Papanya.

Sembari menunggu, banyak ngobrol dengan Maria dan berkenalan dengan peserta lain, baik yang akhirnya tahu namanya atau yang sampai selesai tidak tahu namanya. Sekar, mahasiswa S1 Psikologi Unika Soegijapranata. Dia juga langsing dan cantik. Papa dan Mamanya mendampinginya.

Melihat kondisi ruang audisi yang berbeda dengan apa yang aku pikirkan, aku jadi bingung. Bagaimana penampilan bakatku nanti. Ternyata tidak dipertontonkan. Maria membantu memberikan saran.

Aku mendapat giliran nomor 2 sebelum terakhir dan yang terakhir adalah Maria. Selama menunggu, rasa jajan dan makanan yang diberi panitia kurang enak dan tidak nafsu makan.

Giliran nomor urutku, sekitar pukul 15.30-an aku masuk ruang audisi. Sebelumnya aku sudah menyiapkan malam/lilin yang aku panasi dan alat untuk membatik. Ternyata setelah di wawancara, aku tidak diminta untuk menampilkan.

Ketika proses wawancara, ada hal yang di luar kuasaku. Ide yang aku rencanakan tidak muncul dalam ingatan ketika proses wawancara. Sehingga aku menyampaikan ide dengan terbatas. Menyesal terlintas. Tapi...
Inilah pengalaman
yang tidak bisa dibayar
dengan mata uang apapun
sbagai wujud takdir Tuhan

One Response so far.

  1. Bagas says:

    sama mbak

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -