Posted by : Zilian Zahra Kamis, 19 April 2012

Apakah kau tahu bahwa aku menyesali jalan hidupku. Bagiku semua picik terhadap apa yang aku lakukan. Aku bukan boneka yang dapat kau permainkan sesuka hati. Aku bukan sahaya yang berharap belas kasih dari orang sepertimu. Bukan Kartini masa kini jika aku masih terpenjara di ketiakmu.
Adat Jawa membuatmu bangga menjadi lelaki. Kubilang itu kuno, bukan jamannya lagi wanita harus dibelakang. Untuk kau injak layaknya tak punya martabat. Kau bilang menjadi kuli itu berat, tiga puluh ribu rupiah sehari tak sebanding dengan tenaga yang kau gunakan. Apa kau pikir mudah dengan tiga puluh ribu itu untuk kita?. Lalu dengan apa kamu dan empat anakmu bisa makan enak dan sekolah tinggi? Kau tak pernah mau tempe, bukan?

Kau kabarkan kepada rekanmu, empat anakmu sekolah dengan hasil tabungan gajimu. Padahal tiga puluh ribu saja kau potong untuk rokokmu setiap hari.  Lalu dengan bangga kau tunjukkan kepada teman-temanmu, berlian yang menghias leherku darimu. Padahal ini warisan dari ibu, sebelum ia meninggal.
Jika bukan karena jasa ayahmu, aku tak mau kawin denganmu. Impian menjadi sarjana luluh lantak oleh desakmu. Aku ingat waktu itu, kau tergoda dengan parasku. Aku hargai pula jasa ayahmu.
Manismu berbuah empedu, kekayaan yang kau banggakan telah meleleh ditelan malammu. Dan kau saksikan ayahmu ditelan bumi dengan kelakar suka cita. Ibumu mengiba hingga gila. Sedangkan aku, tangan yang kau daratkan di pipiku hingga pagi ini, masih terasa ngilu.
Aku memang wanita, tapi aku tidak lemah. Aku menghormatimu, dengan caraku. Walau ku yakin kau tak pernah tahu, malammu yang penuh syurga, menjadi ladang cintaku untuk anak-anak kita. Mesin jahit tua ini sandaranku. Ia diam ketika kau kembali. Jika terik datang, kesempatanku untuk menghitung permata.
Ketika anakmu menjerit, kau pergi menyisakan darah yang mengalir dari otaknya. Kutemui nadinya telah berhenti. Ini malam terpahit kedua setelah kau patahkan kaki sulungmu, dua minggu yang lalu.
Aku lari sekuat tenaga mengejarmu, tanpa peduli ketiga anak kita menunggumu di meja makan. Pasi yang kulihat. Aku kehilangan jejakmu, namun aku tak ragu. Kucoba masuki setiap lorong malammu, kutemui kau sedang menikmati malam. Tanpa berpikir panjang, kuseret kau tanpa penutup. Kudapati tamparan dalam-dalam pada raut mukaku. Kubalas kau dengan seribu kataku, belum sampai kau daratkan tanganmu untuk yang kedua kalinya, kakiku mengenai kemaluanmu hingga terjungkal.
Aku terima permohonan maaf‒taubatmu dalam sujudmu. Aku bebaskan kau dari jerat terali besi. Namun baru seminggu, sulungmu kau siram dengan air panas. Kau tak jera jua, dengan sebilah pisau kusayat kulit lehermu hingga nafas terakhirmu, dini hari.


Pesindon, 19 April 2012

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -