Posted by : Zilian Zahra Kamis, 04 April 2013


By : Zilian Zahra

Siapa lagi yang mau mengais sampah sepertiku? Jika dia tahu, aku tidak hanya sampah yang telah terbuang. Aku lebih dari itu, hanya saja banyak orang yang tidak mengerti. Kecuali KAU! Setelah Tuhan, kau tahu semua tentang aku. Terlebih tentang kondisi perutku yang semakin membuncit. Aku tidak menyalahkanmu, tidak pula aku menuntut tanggungjawab darimu. Hanya saja aku ingin kau yang menemaniku. Ketika proses pembedahan akan dimulai hingga akhir usiaku. Karena aku yakin, kau mampu mengertiku. Tuhan yang telah mengirimmu untuk merawatku. Tumor ini hanya ujian Tuhan, seberapa kuat aku tanpamu.

Melihat rautmu, sepertinya kau keberatan menerima permintaanku. Ya, aku tahu kau juga ingin hidup bahagia dengan lelaki sehat, tidak sepertiku. Namun berilah aku kesempatan untuk bahagia. Kau pun tahu, jika aku meminta hal ini kepadanya, dia pasti akan setuju. Dan dia akan rela menghabiskan sisa umurnya untukku. Tetapi, apakah dia akan bisa sepertimu? Kau bilang ini takdir, dan hidupmu adalah pilihanmu. Aku tidak menyalahkan jika memang permintaanku terlalu berat untukmu. Banyak kisah yang telah kita rajut bersama.

Masih ingatkah setiap pertemuan kita? Kau tertawa gembira menyambutku. Kita saling berpeluk mesra. Kukecup keningmu dan kau membalasnya, di taman bunga kota kita.
“Apa kau tak pernah bosan merindukanku setiap hari?” wajahmu manja menanyakan hal ini.
Kujawab “Aku akan bosan merindukanmu esok hari” kulihat kau mengernyitkan dahi, entah apa yang membuatmu demikian.

Waktu terus berjalan, pertanyaan yang sama selalu kau lontarkan ketika aku berkata kangen padamu. Kau tahu? Aku mencintaimu seperti aku merawat kuku. Jadi jangan pernah khawatir aku meninggalkanmu. Namun keadaan telah berubah.

“Maaf aku ingin pergi darimu” Duar!!! Serasa petir menyambar, tiba-tiba kau ucapkan itu.
“Kenapa? Adakah yang keliru dalam hubungan kita?”
“Aku sudah tidak mampu lagi bersamamu”
“Apa yang membuatmu tidak mampu, bukankah kau inginkan aku tidak mundur? Tapi kenapa kau yang mundur?”
“Mundur bukan berarti kau hilang semangat, ada makna lain yang lebih dalam dari itu”
Aku hilang arah, aku hilang semangat. Kau katakan hal itu ketika aku tak seperti dulu lagi. Aku mengidap penyakit. Aku tampak tua karena perut buncit ini.

Argh! Masih saja kuingat keindahan bersamamu. Ketika perutku mulai buncit, kau pikir ini karena cacing dalam perutku semakin banyak. Kau belikan aku obat cacing, tak ada perubahan. Tiap hari saat kita bertemu, kau yang mengoleskan minyak untuk perutku. Berharap lekas sembuh. Masih ada canda tawa menyertai. Sesekali kau bercerita tentang hal yang konyol, aku tidak tertawa, kau marah lalu menciumku.

Semakin besar perut ini, semakin besar pula ketidakhadiranmu disisiku. Kau bilang sibuk, banyak yang harus dikerjakan. Aku memaklumi, apalagi saat kamar serba putih jadi tempat tidurku. Pernah sekali kau datang membawakan bunga dan meninggalkan ciuman. Ternyata itu saat terakhirku bertemu denganmu. Kau inginkan perpisahan ini terjadi. Apa yang kini kurasakan, tak ada yang pergi lalu datang lagi, tak kudengar bibir manismu menyanyi lagu-lagu kemesraan kita. Tak kurasa lagi hangat peluk disini, tak ku dapat lagi belai kasih disini. Waktu terus berlalu membawa diriku dalam suka dalam duka menangis dan tertawa, tak ku dengar lagi suara tawa disini. Jauh sudah dari semua tentangmu. Ada bagian yang hilang dalam hidupku.
sumber : Internet

2 Responses so far.

  1. Todi says:

    saya kalo ke sini suka kehabisan (atau kehilangan?) kata2 buat ngoment.. huffttt... kasih jempol aja deh :D

  2. Purplezilian says:

    Pak Todiiii.... jangan gitu lah.... ciyus nich... butuh keripik yang menyehatkan. hehehe..


    Thanks Pak Todi,,, udah mampir disini :)

- Copyright © Catatan Zilian Zahra -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -